Perlukah Formalisasi Syariat Islam ?
Dr. Andi Nuzul: Dosen Ilmu Hukum STAIN Watampone
SEANDAINYA fraksi-fraksi di DPR RI sepakat mengamandemen Pasal 29 UUD 1945 dan mengembalikan Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945, maka formalisasi syariat Islam bukan hanya konstitusional, tetapi juga akan mudah diterapkan secara nasional di wilayah NKRI.
Pada sidang tahunan DPR/MPR tahun 2002, Pasal 29 UUD tahun 1945 disoal, dan di perdebatan, terutama dalam hubungan perlu tidaknya diamandamen untuk mengembalikan tuju kata dalam Piagam Jakarta ke dalam Sila Pertama Pancasila. Sidang waktu itu, fraksi parpol Islam di DPR/MPR, maupun organisasi keagamaan Islam (ormas Islam) di luar sidang MPR berbicara keras mengenai Piagam Jakarta. Intinya, menuntut diberlakukannya syariat Islam di Indonesia.
Formalisasi syariat Islam, tidak semudah menyuruh seorang muslim untuk beribadah kepada Allah SWT, sebab formalisasi Syariat Islam tidak serta merta diidentikkan mengamalkan Islam. Karena boleh jadi ada formalisasi syariat Islam, namun pada kenyataannya tetap saja banyak di antara orang Islam tidak mengamalkan secara sungguh-sungguh ajaran Islam.
Sama halnya seruan menegakkan supremasi hukum di Indonesia, agar pelanggaran dan kejahatan berkurang. Akan tetapi pada kenyataannya, hukum tidak diamalkan secara sungguh, di mana-mana terjadi pelanggaran hukum dan HAM, praktik korupsi jalan terus, memanipulasi hukum dan politik juga tak berhenti. Bahkan disemua aspek kehidupan telah dimasuki kepentingan politik, termasuk dalam persepakbolaan di tanah air kita.
Gerakan formalisasi syariat Islam membutuhkan pikiran dan strategi, jihad yang sungguh-sungguh, serta dukungan politis, ekonomi serta budaya (perilaku) dari umat Islam maupun politisi Islam. Karena cukup jelas tujuan syariat Islam, yakni terwujudnya Rahmatan Lil Alamin. Bahkan keberadaannya melindungi kelompok minoritas, karena syariat Islam bukan saja harus benar dalam pengakuan atau ucapan, tapi juga harus benar dalam tindakan/pelaksanaannya.
Pada dasarnya, Pasal 29 UUD tahun 1945 menjamain pelaksanaan ajaran Islam. Juga dalam Pasal 18 UUD tahun 1945 memberi kewenangan seluas-luasnya kepada daerah dalam mengurus rumah tangga dan kebutuhan masyarakatnya melalui sistem desentralisasi. Sehingga dari sistem desentralisasi atau otonomi daerah itu, maka daerah bisa menjadi pintu masuk dalam memulai penerapan syariat Islam bagi penganutnya.
Ketentuan yang menjadi harapan bagi umat Islam di atas dibenarkan. Sebab ada asas hukum yang bersifat universal mengatakan “lex specialis derogat lex generalis”. Apalagi dewasa ini kesadaran hukum bagi masyarakat muslim Indonesia cukup menunjukkan kecenderungan yang tinggi, ditandai dari beberapa daerah kab/kota telah mengeluarkan dan mengesahkan peraturan daerah yang berkaitan dengan penerapan ketentuan dari syariat/hukum Islam, seperti perda Zakat, dan perda larangan minuman keras.
Akan tetapi di satu sisi sesuai Pasal 10 UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, di mana Jakarta (pusat) telah membatasi ruang gerak ke arah itu, dengan tetap menggenggam 6 (enam) hal pokok untuk tidak diberikan kewenangan (otonomi) ke daerah untuk dilaksanakan sendiri, termasuk dalam bidang Peradilan dan Agama. Namun juga faktanya, pembatasan kewenangan daerah untuk bidang peradilan dan agama itu, juga tida sepenuhnya berjalan, terbukti di NAD, karena pihak Jakarta (pusat) telah merestui pemberlakuan syariat/hukum Islam baik di bidang perdata Islam (muamalah) maupun dalam bidang pidana Islam (jinayat).
Atas kenyataan di atas, maka sejumlah kelompok masyarakat muslim seringkali menanyakan mengapa Aceh/NAD diberikan kewenangan melalui UU otonomi khusus untuk pelaksanaan syariat Islam, sedang di daerah lain yang penduduknya mayoritas muslim, tidak ?.
Sebenarnya penerapan syariat Islam di NAD melalui konsep otonomi khususnya (UU 11 tahun 2006, jo Qanun NAD no. 10 tahun 2002), bukanlah sebuah konsep syariat Islam yang utuh karena hanya memberikan lebih banyak pada aspek keperdataan (bidang muamalah) saja, sementara aspek pidana (jinayat) dan politik Islam (jinayah) sangat dibatasi. Mengapa ?, karena kedua yang terakhir ini menurut Jakarta merupakan urusan yang harus seragam di setiap daerah sebagai aturan nasional.
Dari sudut kepentingan keamanan dan tjuan politik tertentu, pembatasan di atas, agar orang-orang yang melakukan kejahatan pidana Islam (jinayat) di Aceh tidak melarikan diri ke daerah lain yang tidak memberlakukan pidana Islam. Sebab dikhawatirkan akan banyaknya pelaku kriminal yang akan melarikan diri dari NAD ke wilayah yang bebas penerapan syariat Islam. Sehingga yang terjadi kemudian adalah penumpukan pelaku kejahatan di beberapa daerah di luar NAD sebagai eksodus atau penjahat dari NAD.
Juga bila diamati secara historis, sebenarnya pemberlakuan syariat Islam di NAD bukan hal baru. Tuntutan untuk menegakkan syariat Islam bagi masyarakat NAD telah sejak lama, yakni sejak tahun 1959. Jadi tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa penerapan syariat/hukum Islam di NAD adalah buah perjuangan otonomi daerah pasca reformasi tahun 1998.
Terlaksananya syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa samasekali tidak pernah ditutup pintunya, dan memang tidak ada yang mampu menutupnya. Akan tetapi bila keinginan penerapan syariat Islam dalam wujud formalisasi, hal demikian membutuhkan good will, good Government yang disertai dengan political will. Termasuk membutuhkan kesepahaman langkah politik bagi bangsa ini, dan bidang ini masuk wilayah peran politisi Islam serta terkait dengan eksistensi agama-agama lain yang diakui di Indonesia.
Perilaku yang patut didahulukan atau dikedepankan bagi umat Islam tanpa harus menunggu formalisasi syariat Islam, yakni perilaku mengesakan Tuhan (Tauhidu Ilallah), berbuat ma’ruf dan mencegah yang mungkar, bertindak amanah, berlaku jujur, hidup dalam kesederhanaan, ulet, pemaaf, ikhlas dan konsisten. memelihara keselamatan, perdamaian dan persaudaraan (membangun silaturrahmi) antara sesama muslim dan non muslim.
Penegakan prilaku-prilaku di atas sangat penting, dan akan menjadi penangkal terjadinya berbagai bentuk kejahatan, umpamanya korupsi yang telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang banyak koruptornya.
Namun hemat saya bahwa, bukanlah formalisasi syariat Islam yang utama harus di dahulukan, juga tidak perlu kita berlindung dibalik baju formalisasi syariat Islam. Begitu pula tidak menunggu kebijakan politik dari penyelenggara negara (pemerintah=eksekutif dan DPR/MPR=legislatif) berupa lahirnya undang-undang tentang penegakan syariat Islam, baru kita menegakkan syariat Islam, akan tapi penegakan perilaku seorang muslim sekarang juga. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar