Selasa, 08 Maret 2011

Quo Vadis Cara Berhukum Kita?


Quo Vadis Cara Berhukum Kita?

Dr. A. Nuzul. Dosen Ilmu Hukum STAIN Watampone.

DARI suatu forum diskusi yang mengambil tema “Tempat Hakim Di Akhirat Kel;ak”, seorang narasumber mengatakan bahwa, jika ada 3 (tiga) hakim, maka dua hakim masuk neraka, dan hanya satu yang masuk syurga. Dari pernyataan nara sumber tadi, tiba-tiba seorang peserta diskusi usil bertanya, bagaimana jika ada 4 atau lebih hakim, di mana tempat tinggal selebihnya. Jawaban narasumber bahwa yang selebihnya itu, jangankan syurga yang menolaknya, neraka pun ikut menolaknya. Illustrasi yang terkesan ekstrem itu menjadi kritik betapa bobroknya penegakan hokum saat ini.
Sungguh ironis jika cara berhukum kita tidak mengindahkan akhlak, agama dan norma sosial lainnya (selain hokum). Akibatnya berbagai pelanggaran hukum bias terjadi. Belum lagi jika hukum dikendalikan oleh oknum amatiran atau petualangan hukum.
Sepatutnya penegakan hukum se arah dengan berjalannya hukum di atas koridornya yang bukan sekadar mengikuti formalitas belaka, akan tetapi secara substansial memberi kepastian dan perlindungan pada masyarakat dari tindakan yang merugikan kepentingannya, sebutlah, pencurian, pemerkosaan, korupsi, dsb.
Penegakan hukum secara pasti dan berkeadilan telah menjadi tuntutan bersama bagi masyarakat, agar memberi manfaat sebesar-besarnya kepada jumlah yang sebanyak-banyaknya orang serta memberi efek jerah terhadap pelaku kejahatan untuk tidak mengulangi perbuatannya. Dari sini sebenarnya mengapa kita sangat menaruh harapan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim Pengadilan yang harus bebas dari kepentingan kekuasaan penguasa, melainkan berpihak pada kepentingan penegakan hukum dan penegakan perilaku berhukum.
Masyarakat dan penguasa negara sejatinya berkepentingan dalam mewujudkan supremasi hukum agar tidak lagi ada diskriminasi dalam pemberantasan tindak kejahatan. Pelaku tindak kejahatan yang jelas-jelas merusak tatanan hidup berbangsa, bernegara dan beragama harus ditindak tegas tanpa pandang bulu. Kita berharap pelaku tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang menggerogoti uang rakyat, merusak perekonomian, merusak citra bangsa di mata dunia harus diberantas dari akarnya. Kejahatan korupsi ini sudah menjadi penyakit kronis yang akuut, mewabah di mana-mana di pusat dan di daerah, di kantor pemerintah atau swasta, di birokrasi pemerintah atau di lembaga pendidikan, bahkan di lembaga penegakan hukum itu sendiri.
Koruptor sudah tidak memperdulikan akhlak, mengabaikan perintah dan larangan agama. Tapi ironisnya jika pada akhirnya diproses secara hukum, mereka mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan jika dibanding dengan perbuatan jahatnya. Bahkan mereka mendapatkan remisi berkali-kali, malah diberi pembebasan bersyarat (PB) pada hal hukumannya memang sudah ringan dari awal. Seolah dalam penegakan hukum dewasa ini sudah semakin jauh dari upaya melahirkan efek jerah bagi pelakunya. Kini fakta menyedihkan, bahwa pelaku tindak kejahatan kelas teri (umpama: pencurian kakao, pencurian buah kapuk, pencurian cabe diuber-uber, tapi ketika gilirannya pembobol uang proyek pembangunan gedung dan pasilitas lainnya dilaporkan oleh masyarakat atau oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM), maka pertamanya oleh aparat hukum serius menanggapinya, tapi lama-lama aparat penegak hukum secara pelan tapi pasti akhirnya masuk angin.
Hukum itu adalah perilaku. Begitu pendapat Paul Sholten. Hukum yang tertinggi adalah perilaku, karena itu hukum ada pada setiap manusia. Dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman di Indonesia, mengakui akan hal ini. Karenanya para hakim wajib menggali, mencari dan menemukan hukum jika tidak ditemukan secara jelas dalam perundang-undangan agar tidak menimbulkan kekosongan hukum. Karenanya, hakim atau aparat hukum adalah ujung tombak berfungsinya hukum secara benar.
Karena hukum adalah perilaku, maka kesadaran hukum adalah salah satu sumber hukum. Dalam menguatkan pandangan ini, saya mengutip pernyataan dari dua ahli hukum Indonesia, terutama dalam hubungnnya dengan bekerjanya hukum secara baik di dalam masyarakat, yakni dari Prof. Muchsan, (GB FH. UGM Yogyakarta), dan Prof. A. Zainal Abdin Farid (GB Emiritus UNHAS).
Prof. Muchsan senantisa memberi wejangan kepada anak bimbingannya yang dipromosikan menjadi Doktor baru, dengan mengatakan: “saudara sebagai Doktor…, jadilah ahli hukum berperumpamaan kereta api yang senantiasa berjalan di atas relnya, dan janganlah saudara menjadi ahli hukum berperumpamaa bus malam yang selalu mencari jalanan alternatif untuk menghindari buruan petugas”. Konon pesan i’tibar ini menjadi ikon perkenalan sang profesor pada setiap mahasiswa bimbingannya.
Begitu pula Prof. Zainal Abidin Farid yang mempopulerkan pemikiran hukum secara sosilogis bahwa, jika kita dihadapkan pada pilihan antara undang-undang yang baik tapi penegak hukumnya yang kurang baik, ataukah penegak hukumnya yang baik tapi undang-undangnya yang kurang baik. Maka kita semua menghendaki agar kedua-duanya (undang-undang dan penegak hukum) harus baik. Namun jika keduanya tidak diperolehnya, maka kita harus jatuhkan pilihan pada “penegak hukum yang harus baik”, meskipun undang-undang kurang sempurna. Pernyataan sekaligus petuah ke dua fakar hukum yang amat terpelajar tersebut, sungguh tidak akin pernah kehilangan nilai aktual di dalam cara atau perilaku berhukum untuk mencapai kebenaran hakiki yang ingin dituju. Ungkapan itu berisikan nasihat, memberi petunjuk yang baikl jika kita ingin benar-benar menjadikan hukum sebagai panglima, ingin menjadikan norma hukum itu sebagai pedoman berperilaku.
Hukum dan penegak hukum yang baik diumpamakan “kereta api” yang berjalan di atas rel, memberi pemahaman tentang berjalannya hukum di atas koridor hukum itu sendiri, sekaligus memberi kewibawaan (wisdom) bagi penegak hukum, sekalipun (mungkin) undang-undang masih dirasakan kurang sempurna. Penegak/aparat hukum pada dasarnya corong di dalam membantu masyarakat menyelesaikan kasus-kasus hukumnya secara benar. Jika masyarakat melakukan perbuatan melanggar hukum, maka hukum ditegakkan sesuai tujuan hukum. Sekalipun kiamat akan terjadi besok, pelaku kejahatan terakhirpun tetap akan dihukum. Hukum itu memang kejam, tapi memang begitu seharusnya (lex dura sed tamen scriptaz). Adagium hukum ini sangat sejalan dengan perilaku Muhammad Rasul Allah ketika mengatakan, “,…sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, maka tetap akan ku potong tangannya…” (al-hadis)
Melindungi orang dari jeratan hukum harus tetap dalam bingkai aturan hukum, bukan membantu seseorang dengan cara melanggar hukuma atau menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum. Silahkan membantu sekuat tenaga dan kepada sebanyak-banyaknya orang, tapi tetap di atas koridor (rel) hukum. Kereta api menarik banyak gerbong, yang di dalamnya terdapat ratusan bahkan ribuan penumpang, tetapi kereta api tetap berjalan di atas relnya. Kereta api jalannya hanya satu jalur yakni di atas rel karena tidak ingin gerbong yang ditariknya terjungkal ke luar rel sehingga mengakibatkan penumpangnya banyak menjadi korban atau binasa.
Sebaliknya jika hukum atau penegak hukum diumpamakan “bus malam” adalah perumpamaan yang “kurang baik”. Biasanya sopir bus malam sangat mahir mencari jalanan alternatif guna menghindari petuga dan lampu merah (traffic light), atau menghindari pos penjagaan. Boleh dikatakan, berhukum dengan perumpamaan bus malam adalah cara berhukum dengan jalan pintas, mengabaikan substansi dan budaya hukum, bahkan prosedure hukum pun dilabrak. Termasuk jalan pintas adalah berupaya menyogok aparat, intimidasi dan teror kepada aparat hukum, memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya, dll.
Bila berhukum secara benar maka kita mewujudkan kepastian dan keadilan, dan dari sini akan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi tegaknya kewibawaan hidup sebagai bangsa yang beradab. Sungguh tidak diharapkan perilaku penegak hukum di Indonesia seperti yang disindirkan Sedney Sheldon, penulis novel hukum Rage of Angle (Malaikat Keadilan) bahwa, “Dalam suatu forum persidangan tak ubahnya gelanggang aktor. Di mana sang Jaksa lebih cenderung melontarkan kalimat kebencian, dan keji kepada terdakwa dari pada mencari kebenaran dan keadilan. Pembela/penasihat hukum lebih mengutamakan kecerdikan bersilat lidah, memutarbalikkan kenyataan yang bersifat menjebak, dari pada membela dan mempertahankan kebenaran dan keadilan. Sedangkan hakim juga ikut-ikutan bermain aktor sehingga lupa fungsi utamanya untuk mencari, menemukan serta menegakkan kebenaran dan keadilan-to inforce the truth and justice, Wallahu a’lam.
Opini dimuat juga di Harian Radar Bone.

Tidak ada komentar: