Minggu, 17 April 2011

UJIAN NASIONAL : SISWA BUTUH SUGESTI UNTUK PERCAYA DIRI

Oleh: A.Sarjan
Masa-masa terakhir ini, ujian nasional bagi siswa sudah dilaksanakan, mulai tingkat SLTA, SLTP, dan Sekolah Dasar (SD). Pada hakikatnya, ujian nasional tidak berbeda dengan ujian-ujian yang dilaksanakan oleh masing-masing sekolah. Keduanya adalah evaluasi pembelajaran. Perbedaannya hanya pada model soal yang bersifat nasional. Baik ujian sekolah maupun ujian nasional kedua-duanya mengacu pada kurikulum sekolah pada masing-masing jenjang pendidikan. Tetapi, mengapa ujian nasional itu menjadi momok bagi siswa, bahkan para guru dan orang tua?


Menurut hemat penulis, memang ada yang unik bagi siswa yang tidak lulus dalam ujian nasional. Yang dimaksud adalah siswa yang cerdas tidak lulus, sementara siswa yang prestasi belajarnya biasa-biasa saja, bahkan yang kurang pun lulus. Kalau ujian sekolah, anak yang cerdas, selamannya lulus dalam ujian sekolahnya dengan prestasi yang cemerlang.
Dengan demikian, menakutkannya ujian nasional bukan pada materi soalnya yang dinilai sulit bagi siswa untuk mengerjakannya secara tuntas. Indikator yang dapat digunakan untuk membuktikan pendapat penulis ini, ternyata cukup banyak siswa yang berprestasi cemerlang dalam ujian nasional itu. Di samping itu, lebih banyak siswa yang lulus daripada yang tidak lulus. Lulus dan tidak lulus adalah dua kemungkinan yang melekat secara niscaya pada ujian/ evaluasi belajar. Oleh sebab itu ujian nasional adalah hal yang biasa sehingga tidak perlu ditakuti secara berlebihan.
Kalau demikian kejadiannya, ada apa dengan ujian nasional itu? Menurut hemat penulis, yang terjadi adalah kondisi psikologis (kejiwaan) yang labil bagi siswa, bahkan mungkin juga guru dan orang tua ketika tiba masanya ujian nasional. Bayang-bayang ketidaklulusan dalam benak itulah yang selalu muncul, dan sulit dibuang jauh-jauh, sehingga terciptalah kondisi rasa gelisah yang akut bagi diri siswa. Kepercayaan diri siswa hilang sehingga terjadilah kejenuhan belajar, dan yang paling berbahaya adalah rasa pesimis (putus asa).
Dalam kondisi psikologis siswa seperti yang disebutkan di atas, menurut hemat penulis, yang bagus dilakukan adalah memberi siswa sugesti (semangat yang kuat) untuk menghadapi dan menjalani ujian nasional tersebut. Sugesti itu sendiri bermakna mempengaruhi seseorang atas suatu pandangan, pemahaman, sikap dan sebagainya ketika yang menerima sugesti tidak berpikir rasional karena diberi sugesti oleh orang yang dikagumi, dihormati, berwibawa, kharismatik, pemuka agama dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengertian sugesti tersebut, hendaknyalah para guru dan orang tua di rumah mengambil peran di sini, karena keduanya cukup dihormati siswa. Pesan-pesan sugesti tersebut terutama menyangkut dua hal, yaitu: pertama, kepercayaan diri siswa. Bahwasanya semua siswa seluruh Indonesia akan mengalami hal yang sama. Tak ada perbedaan sekolah yang satu dengan yang lainnya jika sebuah sekolah benar-benar menerapkan kurikulum secara standar. Kedua, Sekolah meyakinkan siswa sebelum ia menempuh ujian nasional, bahwasanya try out yang dilaksanakan sekolah dapat membantu mengerjakan soal-soal ujian nasional. Dengan begitu siswa harus diyakinkan untuk mewaspadai peredaran kunci jawaban yang menjebak. Kunci jawaban tersebut adalah ulah oknum untuk memperoleh imbalan jasa di tengah-tengah kegamangan pikiran siswa. Secara psikologis, jiwa yang labil sangat mudah menerima kesan-kesan dan insruksi dari luar, sehingga trerjadilah hipnotis kunci jawaban yang sangat berbahaya.
Sugesti tersebut di atas hanya dapat berperan jika sekolah telah memenuhi syarat- syarat, yaitu: pertama, sekolah telah melaksanakan proses belajar sesuai dengan standar. Sesuai dengan standar yang dimaksud adalah kurikulum sekolah dipastikan menjangkau marteri-matreri ujian nasional. Materi-materi ajar siswa tuntas, sehingga sangat sedikit celah siswa tidak dapat mengerjakan soal-soal ujian nasional. Kedua, guru yang mengajar adalah benar-benar kompeten, mengajar sesuai dengan keahliannya, terutama mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Ketiga, sekolah melakukan banyak bimbingan pada mata pelajaran yang diujikan secara nasional oleh guru bidang studi yang bersangkutan. Keempat, sekolah menyiapkan waktu khusus untuk try out kisi-kisi soal ujian nasional bagi siswa dengan bahan atau buku khusus yang merekam soal-soal ujian nasional.
Setidaknya keempat hal di atas harus dilakukan sekolah dalam rangka memeberi sugesti siswanya secara efektif. Dengan demikian, sugesti bukan penguatan jiwa dengan nasehat belaka, tetapi nasehat yang berisi dorongan dan kepercayaan diri yang berbasis ikhtiar. Ikhtiar itu sendiri penting sebagai langkah kongkrit menggapai target. Target dan obsesi siswa dalam ujian nasional tiada lain adalah kelulusan (keberhasilan).
Sesuai dengan aturan-aturan ujian nasional tahun ini, boleh jadi semakin membingungkan dan menakutkan siswa. Misalnya tidak adanya kesempatan pengulangan ujian, sehingga siswa yang tidak lulus menunggu tahun depan. Sangat boleh jadi aturan ini sebagai kompensasi diadopsinya nilai sekolah siswa sebanyak 40% untuk penentuan kelulusannya dalam ujian nnasional. Artinya, secara teori, pemerintah meminimalisir potensi ketidaklulusan siswa, sehingga kesan menakutkan ujian nasional itu hilang.
Berkaitan dengan nilai sekolah sebagai penyumbang kelulusan siswa dalam ujian nasional tahun ini, yang ditakutkan adalah justeru sekolah dapat menjadi penyebab terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan berupa penjatuhan sanksi. Satu di antara sanksi itu adalah tidak diakomodirnya nilai sekolah siswa akibat terjadi kejanggalan di dalamnya. Kejanggalan itu dapat berupaadanya indikasi penggelembungan nilai siswa sehingga semua siswa memiliki nilai sekolah yang maksimal, anak yang tidak cerdas sekalipun. Bentuk kejanggalan lain, misalnya, nilai siswa sekolah swasta jauh lebih maksimal dari sekolah negeri, apalagi jika sekolah negeri tersebut menjadi pembinanya dimana guru-gurunya banyak dipakai mengajar di sana.
Teori evaluasi mengajarkan, hasil ujian dengan nilai yang sedikit deviasi antar siswa pada kelas biasa (hetrogen), apalagi memiliki nilai yang sama secara keseluruhan patut dicurigai karena ada sesuatu di balik itu yang dinilai tidak wajar. Ketidakwajaran itu meliputi ujian berlangsung dengan penuh contek dan atau kerjasama, sehingga tidak ada lagi siswa yang cerdas dan kurang cerdas. Yang lainya adalah pengawasan lemah, di mana siswa mendapat bantuan pengerjaan soal ujian dari oknum. Lebih miris jika hal itu memang sengaja dilakukan agar nantinya nilai ujian sekolah benar-benar dapat membantu kelulusan siswa dalam ujian nasional.
Ketidakjujuran sekolah dapat berkibat fatal terhadap siswa peserta ujian nasional. Nilai ujian sekolah dapat ditolak jika terbukti curang dalam memberi nilai ujian sekolah siswa dengan kejangalan-kejangalan yang dapat terbaca sesuai dengan teori pendidikan. Atau terbukti secara meyakinkan dengan adanya bukti-bukti pelanggaran tataertib ujian yang dapat dijadikan bukti awal bagi penyidik jika itu kisruh sehingga yang terlibat harus diperoses secara hukum.
Potensi kekisruhan ujian nasional tetap ada. Oleh sebab itu kepada insan pendidik, para guru, kepala sekolah, harus memiliki pesepsi yang sama untuk penuh amanah (integritas) dalam pelaksanaan ujian sekolah maupun ujian nasional. Siswa harus diselamatkan dari segala resiko ketidaklulusan agar nantinya ujian nasional tidak menjadi momok, dan tidak menimbulkan trauma,berupa deperesi dan stres bagi siswa, seta perbuatan nekad siswa yang menempuh jalan pintas. Sudah banyak kasus ujian nasional yang mengerikan bagi siswa yang tidak lulus, padahal masih ada kesempatan pengulangan berupa paket A, B, dan C.
Tampaknya sugesti dan kepercayaan diri siswa dalam menempuh ujian nasional sangat diperlukan. Siswa yang paling rentan akan trauma ujian nasional adalah siswa SLTP dan siswa SLTA. Kedua kelompok umur sekolah ini sudah mulai pintar berpikir dan berprediksi macam-macam tentang ujian nasional. Apalagi kedua kelompok usia sekolah ini adalah anak manusia yang sedang memasuki masa labil (remaja), sehingga bermacam-macam dapat terjadi terhadap diri mereka.
Dalam pelaksanaan ujian nasional seperti saat ini, tampaknya sekolah mengahadapi masa-masa kritis. Hal ini dapat disebabkan oleh pencapaian tingkat kelulusan yang dicapai oleh sekolah nantinya. Sekolah yang siswanya berhasil lulus 100% atau di bawahnya sedikit, tentu sebuah keberhasilan, sehingga mengangkat reputasi sekolah itu. Sebaliknya, jika sebuah sekolah yang tingkat kelulusan siswanya rendah, itu juga dapat menurunkan citra sekolah yang bersangkutan.
Sebagai sumbangan pemikiran penulis untuk susksesnya siswa dalam ujian nasional tahun ini, hindari sedapat mungkin mempercayai kebenaran kunci jawaban. Percayalah pada kemampuan belajar diri sendiri karena sudah banyak terbukti jebakan kunci jawaban yang membuat siswa tidak mencapai nilai minimal kelulusan. Belajarlah dari kesalahan masa lalu, untuk tidak terulang kembali.
Setelah berikhtiar dengan belajar sungguh-sungguh, yang tak kalah pentingnya adalah berdoa dan bertawakkal kepada Tuhan sesuai dengan agama masing-masing. Berdoa tanpa ikhtiar adalah tindakan keliru. Segala akibat pasti didahului oleh sebab. Belajar sungguh-sungguh adalah sebab kelulusan. Doa berfungsi meyakinkan terwujudnya sesuatu yang diharapkan dari yang mahakuasa dan maha berkehendak. Doa berfungsi menjaga mood (perasaan) agar tetap tenang dengan menyerahkan segala urusan pada yang mahakuasa. Dalam menghadapi ujian nasional harus terpadu usaha lahir dan uapya batin sehingga siswa benar-benar memiliki kesiapan yang prima. Wallahu A'lam bi al-shawab.(*)

Tidak ada komentar: