Oleh: Saturdi Hamid
Upaya peningkatan mutu pendidikan terus menjadi perhatian serius pemerintah. Tak tanggung-tanggung sector pendidikan mendapatkan kucuran dana cukup besar yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 20 persen, sebuah angka yang cukup pantastis. Bahkan angkanya senantiasa menunjukkan peningkatan.
Menurut Data Pokok APBN-P 2008 dan APBN 2009, pada tahun 2005 alokasi anggaran Depdiknas ini mencapai Rp 23.117,4 miliar atau 19,23% dari total APBN. Selanjutnya terus mengalami kenaikan, pada tahun 2006 mencapai Rp 37.095,1 miliar atau 19,44% dari total APBN, Rp 40.476,8 miliar atau 18,95% dari total APBN pada tahun 2007, dan pada tahun 2008 mencapai Rp 45.296,7 miliar atau 16,67% dari total APBN. Pada tahun 2009, alokasi anggaran Depdiknas dalam belanja pemerintah pusat mencapai Rp 62.098,3 miliar atau 19,76% dari total APBN. Pada tahun 2011 meningkat mencapai 266,9 triliun rupiah atau 20,2 persen dari APBN, tahun 2012 angkanya naik lagi sebesar 286,6 triliun rupiah atau 20,4 persen. (Sumber: Setneg).
Pemberian anggaran yang besar ini, tentu bukannya tanpa alasan, selain karena amanat yang digariskan dalam undang-undang, juga asumsinya bahwa peningkatan mutu pendidikan tak mungkin bisa ‘dikatrol’ tanpa dukungan dana yang besar. Keberadaan dana ini diharapkan mampu memberikan dorongan positif untuk menciptakan pendidikan yang bermartabat, sesuai yang diisyaratkan dalam UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 yang menyebutkan, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara dalam pasal 31, ayat 5 menyebutkan, pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah efektif kah kebijakan itu, ditengah ‘miskinnya’ moral sebagian pejabat kita, baik ditingkat pusat, propinsi maupun di pemerintah daerah. Hal itu ditandai dengan maraknya tindakan korupsi yang dilakukan secara berjamaah (bukan shalat berjamaah), secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.
Realitas juga menunjukkan, sejak adanya pemberian anggaran yang besar disektor pendidikan, ini juga menjadi lahan empuk bagi kontraktor nakal untuk bermain sampai di pusat dan daerah. Iming-iming dan saling menguntungkan menjadi alat tawar untuk menjadi pemenang tender proyek. Di dinas pendidikan, dari hasil pengamatan penulis hampir setiap hari bersiliwerang orang-orang ‘misterius’ yang mengatasnamakan Lembaga Swadaya Msyarakat (LSM), dan atas nama organisasi apalah, keluar- masuk kantor untuk melobi proyek. Semua itu terjadi karena dinas pendidikan saat ini sudah menjadi tempat basah untuk menggais rezki.
Inilah dampak lain dari adanya anggaran besar untuk sector pendidikan. Namun kita jangan hanya melihat dari sudut pandang ini, karena disisi lain, adanya anggaran besar ini telah menggairahkan sector pendidikan.Lihat lah misalnya, kegiatan rehabilitasi gedung sekolah yang hampir roboh sudah dilakukan meski jumlahnya masih kecil dan belum merata. Begitu pula pembangunan gedung sekolah baru terus dilakukan. Ini semua dilakukan untuk menyiapkan infrastruktur pendidikan yang memadai. Karena tanpa infrastruktur yang baik yakin pendidikan tak akan maju-maju. Namun pembangung infrastruktur belumlah cukup, tapi perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas peserta didik dan tenaga pendidik.
PPG Salah Satu solusi
Salah satu yang menjadi pertanyaan besar setelah sector pendidikan diprioritaskan adalah mengapa belum juga terjadi peningkatan mutu. Apakah ada yang salah? Jawabnya adalah salah kelola dan adanya unsur uji coba. Tengoklah, kebijakan sertifikasi guru lewat jalur portopolio sama sekali tak memberikan angin perubahan. Dari hasil wawancara kepada beberapa guru, semuanya menjawab dengan jujur bahwa sebelum dan sesudah portopolio sama saja. Ini satu indikasi bahwa jalur portopolio bukanlah pilihan terbaik untuk meningkatkan mutu tenaga pendidik.
Bagaimana dengan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang sudah berjalan beberapa tahun? Penulis tidak mengatakan gagal karena pasti saya didemo, namun kalau melihat pelaksanaannya saat ini yang hanya berlangsung sembilan hari, rasa-rasanya sangat mustahil untuk melahirkan guru profesional, kita sepakat untuk menyandang guru profesioal butuh waktu lama, -meski diakui ada juga yang profesional karena sebelumya memang sudah professional.
Makanya penulis sangat sepakat bila ingin meningkatkan mutu dan melahirkan guru profesional tak ada jalan lain, ikutkan guru dalam program PPG dalam jabatan. Seperti pengalaman penulis setelah mengikuti PPG, begitu banyak ilmu diperoleh dan begitu banyak kesalahan yang penulis lakukan sejak menjadi guru. Penulis sendiri adalah calon pesera PLPG, namun dengan kesadasaran bahwa untuk menjadi guru professional jalannya adalah mengikuti PPG bukan PLPG.
Dan terbukti dengan pendalaman materi yang diberitakan dosen atau instruktur PPG, telah membuat penulis makin kaya pengetahuan dan membuat penyadaran betapa sesungguhnya guru menjadi ujung tombak untuk peningkatan mutu pendidikan. Maka tujuan PPG untuk menciptakan guru yang berkualitas, setia kepada profesinya, menguasai dan mampu menerapka prinsip-prinsip ilmu keguruan dengan arah pembangunan dan perkembangan zaman sebagian tercapai.
Meski kami akui bahwa ikut PPG terlalu banyak yang harus dikorbankan,diantaranya siswa harus ditinggalkan selama mengikuti PPG. Begitu pula dengan keluarga harus rela dan ikhlas melepaskan, demi sebuah cita-cita menciptakan anak-anak Indonesia menjadi anak cerdas dan berakhlak mulia.
(Penulis adalah peserta PPG guru dalam jabatan tahun 2012 dan guru SMA 1 Watampone)
Opini ini di muat di Harian Cakrawala edisi Kamis, 22 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar